Empowerment Vs Disempowerment: Mengkaji Ulang Arah Pemberdayaan Masyarakat Desa

Oleh Siti Sumaryatiningsih

YOGYAKARTA – Himpunan Mahasiswa Pembangunan Masyarakat Desa (HIMA PMD) STPMD “APMD” Yogyakarta menyelenggarakan webinar bertema “Empowerment vs Disempowerment: Mengkaji Ulang Arah Pemberdayaan Masyarakat Desa” pada Selasa, 8 Juli 2025. Kegiatan ini dihadiri sekitar 98 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi, praktisi, hingga aparat pemerintahan desa dari berbagai daerah. Webinar dibuka oleh Siti Sumaryatiningsih, S.Si, M.I.P selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan Masyarakat Desa, STPMD “APMD”.  Dalam pembukaannya Nining, sapaan akrab dari Sekprodi PMD bahwa webinar ini diharapkan dapat menjadi wadah dalam mengkaji secara kritis arah pemberdayaan masyarakat desa ke depan. Nining juga menegaskan pentingnya memahami bahwa desa bukan sekadar objek pembangunan, tetapi entitas hidup—sumber hidup dan penghidupan—yang seharusnya menjadi subjek utama dalam proses pembangunan.

Memahami Ulang Makna Empowerment

Sesi inti dibuka oleh Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si., Ketua STPMD “APMD”, yang menyoroti bahwa banyak pendekatan pemberdayaan hari ini justru menjauhkan masyarakat dari kekuasaan atas dirinya sendiri. “Pemberdayaan tidak boleh direduksi menjadi teknokrasi bantuan dan program. Ia harus menjadi jalan pembebasan,” tegasnya. Bagaimana memaknai empowerment sebagai pemberkuasaan. Desa dikasih ruang tetapi tanpa recognisi maka itu bukanlah pemberdayaan tetapi hanya sekedar proyek saja. Pemberdayaan adalah proses politik, bukan sekadar teknis. Ia lahir dari pengakuan terhadap desa sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Empowerment tidak bisa direduksi sebagai kegiatan bantuan, pelatihan, atau proyek pemerintah. Empowerment adalah proses mengembalikan kuasa dan kontrol atas kehidupan kepada rakyat, terutama mereka yang selama ini dimarginalkan. Empowerment harus bersifat emansipatoris, bukan karitatif; transformasional, bukan administratif.

Dr. Sri Widayanti, S.Pd.I, M.A secara akademik memaparkan tentang konsepsi empowerment.  Dimulai mengupas sejarah kritis konsep empowerment. Ia menjelaskan bahwa pemberdayaan awalnya adalah bentuk perlawanan terhadap maldevelopment—pembangunan yang menghasilkan ketimpangan dan penindasan. Namun kini, banyak program yang mengatasnamakan pemberdayaan justru menjadi alat penundukan baru. “Pemberdayaan telah bergeser menjadi pemerdayaan. Pemerintah tampil sebagai subjek penolong, masyarakat tetap ditempatkan sebagai objek yang lemah,” ungkapnya. Ia juga mengkritik pendekatan yang terlalu administratif dan indikator teknis yang menutupi dimensi politik dari kemiskinan dan ketidakberdayaan. “Kita perlu melampaui narasi romantik pemberdayaan dan melihat struktur kuasa yang menyertainya,” tambahnya. Statement penutupnya cukup menggelitik: pemberdayaan terpeleset menjadi pemerdayaan secara massif, terstruktur dan sitematik disebabkan karena cara berpikir dan cara bekerja yang sangat teknokratik; pemerintah memposisikan diri sebagai subyek sedangkan masyarakat diposisikan sebagai obyek. Diksi “Pemberdayaan/Empowerment” telah menggantikan “Pembangunan”, namun watak
“pemerdayaan/disempowerment” dari praktik Pembangunan tetap berlanjut.

Suara dari Praktisi Desa

Mewakili praktik di lapangan, Gandang Hardjananta  Lurah Desa Tamanmartani,mengakui bahwa selama ini desa selalu mengerjakan proyek tanpa recognisi. Dia memaknai empowerment sebagai proses membuka dan menjaga ruang hidup warga agar mereka mampu, berani, dan berdaya mengatur urusan mereka sendiri. Baginya, pemberdayaan bukan dimulai dari proyek, tetapi dari kehidupan nyata warga yang dihadapi sehari-hari. Ia menekankan pentingnya transparansi, partisipasi, dan gotong royong sebagai fondasi kepercayaan sosial. Pemberdayaan yang sejati adalah ketika desa tumbuh dari dalam—berbasis solidaritas, bukan ketergantungan; dan menjadikan desa sebagai ruang hidup, bukan sekadar wilayah administratif. Beliau menutup presentasinya dengan sebaik-baiknya pemerintah kalurahan tidak ada gunanya kalau tanpa partisipasi dari masyarakatnya, seperti busur tanpa anak panah.

Menimbang Arah Baru Pemberdayaan

Ahmad Musyaddad dalam materinya menyoroti jebakan struktural dan sistemik dalam praktik pemberdayaan masyarakat desa. Ia mengkritik narasi pembangunan yang didominasi oleh logika meritokrasi dan individualisme liberal, di mana keberhasilan dianggap semata hasil kerja keras individu. Padahal, menurutnya, ketidakadilan sosial dan kegagalan banyak warga desa bukan karena ketidakmampuan, melainkan akibat relasi kuasa yang timpang dan sistem sosial yang tidak adil. Ia menunjukkan bahwa program-program pemerintah seringkali hanya menyetarakan kondisi awal secara formal (seperti akses pendidikan), namun mengabaikan fakta sosial seperti warisan kemiskinan, ketimpangan modal sosial, dan bias struktural yang terus direproduksi melalui institusi.

Lebih jauh, Musyaddad menegaskan bahwa meritokrasi menciptakan ilusi keadilan dan justru memperkuat ketimpangan. Ia mengusulkan agar arah pembangunan masyarakat desa berpijak pada konteks struktural dan mendorong redistribusi sumber daya kolektif seperti tanah desa atau modal BUMDes untuk kepentingan kelompok paling lemah. Pemberdayaan, dalam pandangannya, harus mengarah pada transformasi sistemik melalui kebijakan inklusif, penguatan solidaritas sosial, dan reformasi kelembagaan desa yang lebih adil. Empowerment yang sejati tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap teknokrasi yang meminggirkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. Salah satu benang merah dari diskusi adalah pentingnya membedakan antara empowerment sebagai buzzword dan empowerment sebagai proses transformasi sosial

Webinar ini menegaskan bahwa paradigma pemberdayaan perlu dikembalikan pada akar kritisnya: membangun kekuatan masyarakat dari bawah, bukan memperkuat kontrol dari atas. Pemberdayaan sejati hanya mungkin jika masyarakat desa memiliki daya untuk menentukan arah hidupnya sendiri, tanpa tergantung pada logika proyek atau intervensi teknokratik. Kegiatan ini menjadi ruang belajar bersama dan refleksi mendalam, serta membangun semangat baru untuk memperjuangkan desa sebagai ruang kehidupan yang adil, mandiri, dan berdaulat.