Webinar ini diselenggarakan oleh Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” dengan tema Pembaruan Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa. Webinar ini berlangsung pada Hari Rabu, 16 September 2020, pukul 10.00 – 12.45 WIB dengan menggunakan metode daring yaitu zoom meeting dan live streaming di facebook PMD STPMD APMD. Pada sesi ini mengambil isu tentang desa dan lingkungan dengan menghadirkan 3 narasumber dari unsur Non Government Organization (NGO), praktisi, pakar dan birokrat. Ket sekaligus alumni STPMD “APMD” yaitu Umbu Wulang, S.Sos, Ibu Dra. Widati, lic, rer, reg, Dosen STPMD “APMD” serta Triyatno Yuliharso, S.IP; MP, KABID PE, KD dan KM, DINPERMASDES Kab.Pemalang.
Diskusi ini dilatarbelakanngi oleh pemikiran kami tentang Indonesia dengan luas sekitar 1.919.440 km² sangat kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam tersebut berupa flora, fauna, air dan sumber daya alam yang melimpah lainnya seperti sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi. Sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah tersebut sebagian besar terletak di pedesaan.
Namun desa yang kaya akan sumber daya alam ini sayangnya berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat pedesaan dengan perekonomian menengah kebawah bahkan dikategorikan miskin dan memprihatinkan. Kaya sumber daya namun masyarakat tetap tidak berdaya. Bukan berarti masyarakat desa bodoh, lemah dan malas. Masyarakat desa bertani, berkebun, mengolah hasil kebun, mengolah hasil bumi, pergi ke hutan, pergi ke laut menjadikan desa tetap menjadi basis produksi. Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada para petani, nelayan semakin meminggirkan mereka dari peta kesejahteraan.
Kebijakan ekonomi yang ada justru mengarah pada eksploitasi SDA yang semakin tidak terkendali. Menyitir apa yang ditulis oleh Sach dan Warner (1995), sejarah mencatat bahwa kelimpahan SDA suatu negara seringkali justru menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan. Terjebak dalam formulasi kebijakan yang buruk (bad policies) dimana investor dan operatornya dari asing. Berbagai konflik terjadi karena pemanfaatan SDA yang tidak bijaksana dan mengorbankan masyarakat. Kebijakan ini memberi dampak besar terhadap lingkungan. Eksploitasi selalu mengalami kegagalan ekonomi dan ekologi. Saat ini pengelolaan sda yang tidak berkelanjutan menimbulkan krisis sda, polusi juga bencana. Alam tidak membutuhkan manusia, tapi manusia membutuhkan alam. Tata Kelola SDA yang memihak pada investor besar semakin meminggirkan desa dari kekayaannya sendiri hingga munculnya kebijakan baru, UU Desa.
Di sisi lain, kran demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam oleh desa mulai terbuka dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Beberapa pasal dalam UU Desa secara tersurat menyebutkan tentang pengelolaan sumber daya alam. Asas rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi semangat UU desa ini harus dimaknai dengan benar. Namun demikian, implemetasi UU desa ini masih diperlukan interpretasi lebih mendalam tentang asas rekognisi, sebagai pengakuan secara aktif oleh negara melalui redistribusi asset-asetnya kepada desa. Tidak sekedar kucuran dana desa, menurut Sutoro Eko redistribusi asset negara juga menghendaki pemberian wewenang kepada desa untuk mengontrol dan mengelola SDA di wilayahnya yang secara asal usulnya memang tidak pernah terlepas dari kehidupan ekonomi, social, kultural dan politik warga desa.
Ikhtiar ini tentu tidak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat apabila desa tidak mampu menangkap peluang ini dalam membangun desanya. Otonomi desa dalam mengelola SDA yang ada di desa haruslah memperhatikan ekonomi juga ekologi. Pembangunan desa yang berkelanjutan harus menjadi arah dan tujuan pembangunan dalam mengelola sumber daya alamnya. Dinamika desa dalam rangka “desa membangun” dan “membangun desa” terkait pengelola sumber daya alam ini menjadi salah satu pilihan topik dalam diskusi melalui daring, Webinar Prodi Pembangunan Masyarakat Desa dengan tema: “Pembaruan Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa”.
Paparan pertama adalah Umbu Wulang banyak berbicara tentang Tata kelola SDA desa yang deskriminatif dan pincang ekologi, dengan menyajikan beberapa fakta yang terjadi di NTT. Umbu Wulang memberi judul pemaparannya dengan “Pembangunan/Penjarahan Desa”. Banyak sumber daya alam di NTTseperti Cendana dimana NTT dikenal dengan nama Pulau Cendana. Namun sekarang di Gunung Kidul Cendana lebih banyak dari NTT. Eksploitasi cendana dari jaman penjajahan hingga sekarang dan tidak ada kontribusi buat pembangunan di NTT. Populasi cendana juga semakin sedikit di Pulau Cendana ini. Selanjutnya nasib yang sama juga dengan Gaharu, tambang mineral, peternakan, jeruk soe, pangan lokal (shorgum, putak), jagung, lontar, sumber daya kelautan, sabana, karst, keindahan alam. Namun menjadi catatan besar Ketika kantong-kantong kemiskinan malah terjadi di daerah yang katanya komoditi. Umbu Wulang, alumni STPMD “APMD” Angkatan 2000 ini menganalisis fakta tersebut dengan 4 pendekatan yaitu tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi dan lebih memfokuskan pembahasan pada sector pariwisata. Menurutnya keindahan pariwisata di NTT adalah keindahan palsu, karena keindahan alam di NTT hanya bisa dinikmati orang kaya dan menutupi kemiskinan masyarakat NTT di baliknya. Kritiknya yang cukup pedas atas pembangunan adalah sumberdaya keren, tapi desa tentang kere. Dia menutup paparannya dengan mengutip Filsuf Agustinus, “tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan perampok yang terorganisir”.
Sementara Dra. Widati, lic.rer.reg banyak bertutur tentang “Desa Membangun, Membangun Desa Berbasis Ekonomi, Social Dan Ekologi. Widati membuka paparannya dengan UU desa dengan beberapa pasal tentang pengelolaan Kawasan pedesaan atas SDA. Menurutnya, yang namanya development tidak semata-mata peningkatan ekonomi, produksi dan sejahtera, tetapi harus melihat lingkungan, tempat dimana semua hidup. Dalam paparannya Widati menggunakan 2 pendekatan dalam pengelolaan sumber daya alam, yaitu imanen dan transenden. Pembangunan yang berkelanjutan secara implisit di pasal 78 UU Desa di level desa adalah sebuah kerangka solusi. Sebagai upaya yang dilakukan untuk suatu tranformasi desa menuju pada peningkatan kesejahteraan secara terus menerus baik secara ekonomi sosial dan lingkungan. Pengelolaan sumberdaya tidak sekedar persoalan mengekonomikan sumberdaya (economically viable), tetapi juga memberdayakan rakyat (socially acceptable) dalam ruang ekologi yang berkelanjutan (ecological visible). Dalam implementasinya di desa dapat berupa regulasi dan musrenbang akan menjdi arena bagi masyarakat dan pemdes mengemas rencana pembangunan yangberorientasi ekologis. Dalam pemaparannya banyak memberi contoh pariwisata yang diselenggarakan desa di Yogyakarta yang berorientasi pada sosial ekonomi juuga ekologi.
Sementara pembicara ketiga, Triyatno Yuliharso, SIP, MP, Pemdes Kabupaten Pemalang, membuka paparannya dengan menyandingkan UU Desa dengan UU Penataan Ruang. Menyoroti tata ruang Kawasan perdesaan dalam keduanya maka Pemda Pemalang membuat kebijakan strategis tentang Pembangunan Kawasan perdesaan dengan menyesuaikan penataan ruangnya. Strategi kebijakan pengelolaan SDA di Kab. Pemalang adalah pembentukan Badan Kerjasama Antar Desa, Pembentukan BUM Desa, dan pembentukan Kawasan Perdesaan. Ke depan desa diharapkan mempunyai otoritas atas sumber daya yang dimiliki untuk kemudian digunakan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran masyarakat.